Friday, August 6, 2010

Gaya Manajemen Nan Elegan dari Apple

 
iMac, iPod, iTunes, dan iPhone sungguh merupakan deretan karya teknologi yang amat estetik. Deretan produk elegan dengan sentuhan seni yang mengesankan. Deretan produk yang barangkali ingin menggapai dengan sepenuh hati apa itu makna keindahan yang sempurna. Dan melalui deretan produk inilah, Apple kemudian menyeruak menjadi pendekar paling tangguh dalam era konvergensi digital masa depan.

Dalam lima tahun terakhir, Apple memang terus bergerak menggapai langit prestasi. Setelah produk iPod-nya melambung dan membuat para petinggi Sony kelabakan, kini Apple hendak menggoyang kedigdayaan Nokia dengan produknya yang memukau, iPhone. Sementara jutaan orang setiap hari mengunjungi kios musiknya via
iTunes. Pendeknya, menyaksikan kisah Apple ibarat menikmati jus apel yang segar dan menyehatkan. Lalu, apa sesungguhnya faktor kunci dibalik menjulangnya kerajaan Apple? Penyelidikan terhadap proses bisnis yang dilakoni oleh Apple membawa kita pada tiga elemen kunci yang mungkin bisa menjelaskan kejayaan perusahaan dari Cupertino, California ini. Elemen yang pertama dan mungkin paling vital adalah eksistensi sang CEO dan juga pendiri, Steve Jobs. Tak pelak, pria yang suka berpenamilan casual ini merupakan figur kunci dibalik ketangguhan Apple. Melalui visinya yang tajam dan citarasa yang kuat akan produkproduk teknologi berestetika, Steve telah menjelmakan dirinya sebagai jangkar yang amat menentukan ke arah mana bahtera Apple hendak dilayarkan.

Pertautan Steve Jobs dengan Apple sendiri merupakan sebuah kisah yang panjang nan berliku. Pria yang drop out saat kuliah di semester pertama ini mendirikan perusahaan Apple ketika usianya baru masuk 22 tahun (!) dari sebuah garasi mobil di rumah kontrakan. Di tahun-tahun awal berdirinya pada pertengahan tahun 70-an, Apple sempat mengguncang dunia dengan mengeluarkan produk personal computer pertama di dunia. Namun seiring berjalannya waktu, nasib Steve Jobs sendiri justru berakhir tragis : pada tahun 1986 ia justru dipecat dari Apple. Sejak ia pergi, Apple limbung dan didera kegagalan demi kegagalan.
 

Setelah sempat berpetualang dengan mendirikan perusahaan Pixar (yang memproduksi film animasi sukses seperti Toy Story, Finding Nemo dan Cars), Steve Jobs melakukan langkah comeback : kembali direkrut untuk mengomandani Apple. Saat itu, tahun 1997, Apple tengah berada pada titik nadir, dan banyak orang meramalkan perusahaan ini sebentar lagi akan masuk liang kubur. Senjakala kematian mengintai dan mereka tak yakin Steve Jobs mampu menjelmakan dirinya menjadi sang dewa penyelamat. Toh sejarah kemudian menjadi saksi : betapa Steve Jobs telah melakukan proses comeback yang spektakuler. Steve Jobs sendiri sejatinya merupakan figur yang unik. Brilian, memiliki kepekaan seni yang mumpuni (ia pernah belajar kaligrafi), namun sekaligus memiliki sense of strong leadership. Pada sisi lain, Steve adalah pribadi yang selalu memburu titik kesempurnaan – baik pada aspek desain ataupun dalam proses manufakturing beragam lini produknya. Begitu ia yakin dengan visi desain produknya, maka ia akan bekerja mati-matian bersama para engineernya untuk memastikan agar desain itu benarbenar dapat diproduksi dengan penuh kesempurnaan. 
 
Kisah penciptaan iPod dan iPhone barangkali tak akan pernah terjadi tanpa sikap perfeksionis dan sekaligus proses kepemimpinan yang kuat dari Steve Jobs. Elemen kedua yang menjadi penentu keberhasilan Apple adalah ini : sinergi yang sempurna antara beragam tim – baik tim desain, tim software, dan tim hardware. Semua melakukan kolaborasi secara paralel dan simultan. Proses penciptaan produk di Apple tidak dilakukan secara setahap demi setahap, dimana setelah desain selesai lalu diserahkan ke bagian software, lalu diteruskan lagi ke bagian hardware. Sebaliknya, dalam prosesnya semua aspek ini dikerjakan bersama-sama secara simultan. “Essentially it means that products don’t pass from team to team. It’s simultaneous and organic. Products get worked on in parallel by all departments at once — design, hardware, software — in endless rounds of interdisciplinary design reviews,”demikian tulis majalah Time dalam salah satu liputannya yang memikat tentang Apple.

Elemen yang terakhir mungkin lebih jarang diketahui orang. Elemen ini adalah hadirnya sang jenius lain bernama Jonathan Ive yang menjabat sebagai Chief Design Apple. Jonathan Ive adalah seorang desainer produk brilian yang telah memiliki peran amat sentral dalam sejarah kelahiran produk-produk legendaris Apple. Ive-lah yang menjadi otak dibalik lahirnya produk iMac, iPod dan iPhone. Dengan kata lain, sosok inilah yang dengan jitu menerjemahkan visi Steve Jobs menjadi kenyataan melalui rangkaian produk yang elegan dan penuh nuansa keindahan.

Demikianlah tiga elemen kunci yang kira-kira bisa menjelaskan tentang melambungnya prestasi Apple. Jika kita telisik, ketiga elemen ini semuanya bermuara pada people management : elemen yang pertama tentang leadership yang kuat dan visioner, yang kedua tentang kekuatan sinergi, dan yang ketiga tentang pengembangan kompetensi dan keahlian. Rangkaian produk Apple selama ini memang selalu menebarkan pesona yang menggetarkan. Namun dibalik itu semua, mereka juga telah memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana menjalankan proses people management secara elegan.
 

Psikologi dan Hukum


Ilmu Hukum Dan Ilmu Psikologi 

Semakin kompleksnya masyarakat, semakin menimbulkan banyak permasalahan dan akibatnya menuntut sebuah ilmu untuk terus berkembang guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Psikologi, sebagai sebuah ilmu juga dituntut untuk dapat diaplikasikan dalam berbagai permasalahan yang timbul dalam masyarakat. Aplikasi psikologi terhadap bidang permasalahan-permasalahan tertentu memunculkan bidang kajian baru. Aplikasi psikologi pada bidang kesehatan memunculkan psikologi kesehatan, aplikasi psikologi pada bidang lingkungan memunculkan psikologi lingkungan, aplikasi psikologi pada bidang hukum memunculkan psikologi hukum, dan masih banyak kajian psikologi lainnya.





Perkembangan psikologi hukum berawal dari pidato Freud tahun 1906 dihadapan para hakim. Freud menyatakan psikologi dapat diterapkan dalam bidang hukum. Hal ini dilanjutkan oleh Hugo Munsterberg, seorang ahli eksperimental, tahun 1908 yang menyatakan prinsip psikologi dapat diterapkan dalam semua peristiwa termasuk peristiwa di ruang pengadilan. Bidang psikologi hukum baru berkembang pesat pada dua dekade terakhir ini (Sitat dalam Bringham, 1991). 


Pada tahun 1927, dekan Fakultas Hukum Yale menunjuk seorang psikolog sebagai dosen di sana dalam upaya untuk ”membuat peran hukum di dalam prediksi dan pengontrolan perilaku menjadi jelas” (Schegel, 1979) optimisme terhadap potensi kemitraan antara hukum dan psikologi meluas di dalam tulisan-tulisan yang muncul pada saat itu. Pada tahun 1930, jurnal The American Bar Association mengumumkan bahwa ”Saatnya telah tiba, di mana pengumpulan fakta berdasarkan cara psikologi modern harus diakui oleh para pembuat hukum kita terlepas dari huru-hara yang mungkin akan timbul di dalam institusi-institusi yang mapan” (Cantor dalam D. Soedjono, SH, 1983).

Gerakan kaum realis adalah contoh awal pengaruh psikologi terhadap hukum. Dua orang psychologist-philosopher terkemuka saat itu – William James dan James Dewey - memperjuangkan ide-ide pragmatisme, induksi, dan pendekatan-pendekatan ilmiah di dalam kajian isu-isu sosial (James, 1907; Dewey, 1929). Para realis hukum menangkap ide bahwa hukum dibutuhkan untuk secara pragmatis mendukung kebaikan bersama dan memanfaatkan penelitian ilmu sosial. Pada tahun 1931, Karl Llewellyn, seorang pemimpin gerakan realis, menyebutkan beberapa prinsip pokok ; (1) karena masyarakat selalu berfluktuasi dengan lebih cepat dibanding hukum, maka hukum harus senantiasa diperiksa kembali untuk memastikan bahwa ia dapat melayani masyarakat dengan baik; (2) hukum adalah ”sarana untuk mencapai tujuan sosial dan bukan untuk tujuan itu sendiri” dan (3) hukum harus dievaluasi efek-efeknya (Llewellyn dalam D. Soedjono, SH, 1983). Rekonseptualisasi realisme terhadap hukum merupakan sukses besar. Prinsip-prinsip fundamental Lewellyn saat ini diterima nyaris secara universal di kalangan masyarakat hukum.

Di dalam masyarakat psikologi yang lebih luas, ada keinginan kuat untuk menemukan berbagai cara untuk menerapkan teori dan penelitian di bidang-bidang seperti hukum. Di dalam pidato presidensialnya untuk the American Psychological Association pada tahun 1969, George Miller menuntut agar ”memberikan kesempatan kepada psikologi untuk turut menyumbang” menggunakan pengetahuan psikologis untuk menjawab masalah-masalah sosial berat (Miller, 1969). Di tahun yang sama, Donald Campbell menuntut penggunaan yang jauh lebih ekstensif dari metode-metode yang telah diprakarsai olehnya dan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya. Para psikolog yang tertarik pada sistem hukum juga merasa optimis terhadap berbagai kemungkinan psikologis, terutama terkait peran psikologi dalam sistem hukum. Pada tahun 1969, mereka mendirikan The American Psychology-Law Society (AP-LS), yang menyatakan bahwa ”Hanya ada sedikit bidang antardispliner yang memiliki begitu banyak potensi untuk memperbaiki kondisi manusia” (Grisso, 1991). 

Keterkaitan psikologi dan hukum yang pasang-surut itu belum dapat berkembang menjadi hubungan yang mantap sampai akhir tahun 1970-an. Terbitan utama jurnal utama APLS – Law and Human Behavior – muncul pada tahun 1977. Sejak itu, beberapa jurnal yang menampilkan penelitian dan teori psikolegal mulai bermunculan (misalnya Law and Society Review; Criminal Justice and Behavior; Behavioral Sciences and the Law; dan Psychology, Public Policy, and Law). Hubungan antara kedua disiplin itu menjadi semakin luas dan mendalam selama 25 tahun terakhir. Ini jelas merupakan boom time untuk bidang lain (politik, olahraga, ekonomi). Masa depannya mungkin tidak pasti, tetapi ada alasan untuk merasa optimis.

Proses pasang surut perkembangan psikologi hukum akhirnya menghasilkan sebuah gagasan utuh yang dituangkan dalam sebuah definisi yang bisa mewakili kedua belah pihak yang pada awalnya berseteru satu sama lain. Psikologi hukum, yakni suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Drever J.A., Dictionary of Psycholohy Penguin Books 1976 dalam Purbacaraka, Soekanto, 1978). Menurut Purbacaraka & Soekanto cabang ilmu hukum yang bernama psikologi hukum ini termasuk ilmu tentang kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai perikelakukan atau sikap tindakan, yang antara lain mencakup beberapa cabang metode studi yang berusaha mempelajari hukum secara mendalam dari berbagai sudut pandang: yaitu sosiologi hukum, antropologi- hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. (Purbacaraka, Soekanto, 1978)
Psikologi hukum merupakan aplikasi psikologi dalam bidang hukum. Luasnya bidang hukum menyebabkan bidang kajian hukum juga menjadi luas. Haney (Sitat dalam C.R. Bartol & A.M. Bartol, 1994) dan Blackburn (Sitat dalam Kaprdis,1997) mengemukakan penerapan psikologi dalam bidang hukum dapat dibedakan menjadi tiga hal berikut ini. 

1. Psychology in Law
Hubungan ini hukum lebih memiliki inisiatif dibanding psikologi. Para pelaku hukum akan mengundang psikolog jka mereka diperlukan. Dapat dikatakan bahwa psikologi diterapkan secara terbatas sesuai dengan standar hukum, sehingga peran psikologi tidak dapat maksimal. Contoh ketika seorang terdakwa diragukan apakah secara mental dapat bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya, hakim akan meminta psikolog untuk menentukan kondisi mental terdakwa. Di Indonesia, peran ini banyak dilakukan oleh psikiater, seperti kasus mantan Presiden Suharto yang diajukan di peradilan beberapa saat lalu. Dalam kasus kesaksian yang tidak reliabel (seperti kasus yang melibatkan saksi anak-anak), kadang juga membutuhkan psikolog. 

2. Psychology and Law
Hubungan ini tidak ada yang dominan, psikologi dipandang sebagai disiplin yang mengevaluasi dan menganalisis berbagai komponen hukum dari perspektif psikologi. Psikologi mengembangkan penelitian dan teori dalam bidang psikologi pada permaslahan-permasalahan hukum. Contohnya penelitian psikologi tentang terdakwa, pengacara, hakim, saksi, polisi. Penelitian ini kemudian dijadikan masukan untuk dapat mengembangkan sistem hukum. 

3. Psychology of Law
Hukum dipandang sebagai penentu perilaku manusia. Psikologi berusaha memberikan penjelasan bagaimana dan mengapa hukum dapat menentukan perilaku. Contohnya permasalahan tentang mengapa masyarakat kini tidak patuh hukum? Apakah hukuman mati dapat mengurangi kriminalitas? Faktor psikologis apa yang menyebabkan seseorang bersedia melanggar hukum ketika diperintah oleh otoritas? (seperti kasus penembakan mahasiswa Trisakti oleh aparat, Tragedi Jakarta, 1998).
Pendapat Haney dan Balckburn yang muncul sekitar tahun 1980 ini sebenarnya dalam usaha memberikan gambaran betapa pesatnya perkembangan psikologi hukum di negara barat. Di Inggris sudah sejak 1970-an, di Australia sejak tahun 1980, dan di Amerika Utara sejak 1960-an (Kapardis,1997). Berbagai macam teori dan penelitian dalam psikologi hukum muncul sebagai respon atas permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga (Haney dan Blackburn) mulai mewadahinya dalam tiga istilah diatas. Demikian luasnya kajian psikologi hukum menyebabkan munculnya bidang-bidang baru di bawah kajian psikologi hukum seperti psikologi forensik (yang menyoroti permasalahan peradilan di pengadilan).

Kajian-kajian yang banyak dilakukan bidang psikologi hukum banyak tertarik pada hukum pidana, walaupun saat ini sudah banyak pula yang melakukan kajian pada hukum perdata. Pada hukum pidana, kajian yang banyak dilakukan antara lain pada (Kapardis, 1997; C.R. Bartol &A.M.Bartol, 1994):
a. Perilaku kejahatan.
b. Lembaga pemasyarakatan.
c. Kepolisian.
d. Saksi.
e. Jaksa.
f. Pengacara.
g. Hakim.
h. Korban kejahatan.
i. Undang-undang. Psikolog juga sangat membantu menyusun undang-undang, seperti undang-undang tentang hak anak, undang-undang yang lain. Lebih penting, psikolog diperlakukan menyelesaikan undang-undang.